Saturday, October 27, 2012

Random: A Piece Of

Hello fellaaaaaasss… pardon this lazy ass because haven’t continue writing fanfics and short stories, because mid term comes and it is killing me. I am suck at studying but good at being a pool bear (?) Ooops no, I am not a bear, I am cow (they said), the most beautiful cow in the world (why so proud, kiddo?)

Well, I am not going to tell a bear or cow story right now, but I’ve prepare a cool story for you, a story about the most hard times in my life and how I managed to through it all 
I will write it in INDONESIAN kok XDDD


Mama

Desember 2003

Hari itu adalah salah satu hari paling mulia dalam tanggalan Islam, hari tempat jutaan orang berbagi dengan saudaranya seagama tanpa pandang aspek lain, iya… Idul Adha. Semua orang bersemangat, aku juga tidak mau kalah bersemangat, aku memilih baju terbaik, jilbab terbaik, sandal terbaik, dan membersihkan diri dengan perangkat mandi terbaik, pokoknya khas anak kelas 6 SD yang sedang bersiap untuk puber.

Lucunya saat itu aku tidak tahu kalau sehari sebelumnya seharusnya ikut puasa dengan Bapak, atau pada hari itu sebelum berangkat shalat sunnah buat sarapan dulu.
Lalu semua berjalan seperti biasa, Bapak menjadi operator dan menjadi timekeeper di masjid, Adik menjadi salah satu anak yang takbirnya tidak putus-putus sejak sebelum subuh, dan Mbah Ayah yang sibuk dengan masakannya. Satu hal yang tidak biasa, Mama.

Mama hari itu tidak sibuk bolak-balik kamar dan dapur, tidak sibuk mengomel karena aku lebih suka pakai sandal gunung dari pada sandal ber-heels dari Mama, atau mengomel karena baju Muslimah-ku yang tahun lalu kesempitan karena aku selalu tambah gendut tiap tahun. Hari itu, Mama cuma duduk di kursi di dalam kamar, ditemani Mbah Ibu yang bertugas membantu Mama kalau butuh apa-apa. Dan menyaksikan Mama yang wajahnya pucat tapi masih berusaha tersenyum adalah hal yang paling aku benci saat itu. Aku kesal karena Mama tidak berlaku seperti biasa, aku kesal karena yang sibuk memasak bukan Mama tapi Mbah, aku kesal karena Mama tidak membantuku memakai jilbab dan sepatu. Aku kesal karena ketika berangkat ke masjid, di teras rumah Adikku bilang padaku, “Kak Emmy, Mama kok nggak sembuh-sembuh sih?”

Semua berlagak seolah semua baik-baik saja, semua akan baik-baik saja, dan Mama akan baik-baik saja. Begitu shalat Ied selesai, sesi salam-salaman dimulai antar semua warga di masjid kampung. Bapak sendiri adalah panitia kurban, dan tentu saja Bapak langsung sibuk di masjid. Aku pulang saja ke rumah, mengingat orang yang paling harus disalami sedag berada di rumah. Aku mengucap salam dan berlari ke kamar Mama.

Ketika tirai di pintu kutarik, Mama sudah duduk di kursi kerjanya, berpakaian muslim lengkap, rambut Mama disisir rapi dan ditutup selendang coklat. Wajah Mama masih sepucat biasanya, bukan, hari itu wajah Mama malah kuning seperti habis diluluri dengan kunyit. Tapi, Mama cantik, cantiiiiiiiikkk sekali. Mama lebih cantik hari itu dari pada hari-hari ketika Mama berangkat kerja. Mama tersenyum melihatku muncul sambil menenteng mukena. Aku juga ketawa, senang sekali lihat Mama yang sepertinya sudah mulai baikan. Tanpa basa basi aku mengambil tangan Mama, menciumnya, dan mencium pipi Mama kiri dan kanan, sementara Mama mencium keningku lamaaaaaaa sekali. Begitu melepaskan diri aku baru sadar kalau Mama menangis. Aku melihat Mama dengan wajah tanpa ekspresi, karena tidak tahu kenapa Mama menangis. Aku lalu bilang, “ Mau sarapan Ma…” Kecil di dalam hati, aku berharap Mama bakal menyuapiku, hahaha

Mama masih menangis saat itu, aku bingung, karena itu aku memutuskan untuk pergi saja dulu, karena Mama tidak biasanya nangis di depan kami. Biasanya Kamilah yang selalu nangis dan mengadu pada Mama. Dan ketika akan berbalik badan, Mama memegang tanganku, lalu bilang, “ Emmy peluk Mama dulu ya sebentar…”

Aku membeku. Aku lalu balik ke arah Mama, dan memeluk Mama, lamaaaaaaaa sekali. Sampai ketika suara adikku terdengar, “ Yuda juga mau salaman sama Mama…”
Barulah Mama melepaskanku dan bilang, “ sini deq…”

Aku setelah itu keluar dari kamar, berjalan ke dapur, dan duduk di dekat meja makan. Kali itu bukan untuk makan, tapi untuk menyaksikan Mbah Ayah dan Ibu yang menangis tanpa mengatakan apapun padaku.

***

Februari 2004

Mama sakit liver, hepatitis B. Itulah faktanya, aku berusaha buat seolah itu adalah sebuah frase untuk tetangga atau Bibi dari teman sekelasku. Tapi, faktanya itu Mama, bukan orang lain. Orang bilang penyakit itu tidak bisa sembuh, dan memang kami sudah menjalankan banyak terapi untuk Mama, dan tidak terhitung berapa kali kami ke dokter spesialis penyakit dalam sejak tiga bulan terakhir.

Hari itu Mama ke dokter paginya, aku dan adik harus tetap ke sekolah karena aku kelas 6 dan akan ujian, sedangkan adik harus belajar serius untuk ikut lomba cerdas cermat antar sekolah. Mama tidak mengizinkan kami bolos sekolah. Namun, begitu pulang sekolah, selesai shalat dzuhur, aku ke dapur untuk bertemu Mbah Ayah, menanyakan mengapa Mama dan Bapak belum pulang, lalu kata Mbah, “ Mama nginep dulu barang seminggu di rumah sakit, nanti sore kita ke sana ya, kalau Kakak nggak ada les.”

Aku cuma diam, mengangguk saja pada Mbah.
Seminggu berikutnya kami memang bolak-balik rumah sakit buat enguk Mama. Tapi, aku tidak boleh menginap, alasannya karena sudah kelas enam, mau ujian. Padahal pengen banget sama Mama terus. Terus memang rasanya takut kalau mau menutup mata, takut kalau tidak bisa liat Mama, takut sekali. Karena itu terjaga setiap malam terasa jauh lebih baik daripada tidur.

Suatu sore, aku dan adik per gi ke rumah sakit, sepulang sekolah. Adik begitu sampai di sana langsung main di halaman belakang ruah sakit, bersama beberapa orang sepupu. Aku tadinya ikut, dan ketika kembali ke kamar Mama, ia memanggilku dan memintaku duduk di dekatnya, membantunya mengoles minyak kayu putih di kakinya yang dingin.

Waktu itu Mama bilang, “ Mama pengeeeen liat Emmy pakai baju SMP, baju SMA, pengen liat Emmy kuliah, pengen liat Emmy pakai baju-baju bagusnya Mama dulu.”

“ Nggak cukup kan Ma bajunya, Mama dulu kurus, kan Emmy gendut, kata temen-temen gembrot malah,” kataku.

Mama megang kepalaku, “ biarin aja, nanti juga kurus sendiri, nanti bisa pakai kebaya pas nikahan…”

“ Hehehe, nggak mau nikah ah, nanti pergi dari rumah.”

“ Eh, nggak apa-apa, memang begitu kalau perempuan, kalau Yuda baru bawa orang ke rumah.”

“ Nanti jauh Ma, di sana nggak ada Mama sama Bapak…”

“ Nggak apa-apa, nanti juga di rumah nggak ada Mama.”

Aku tidak merekam ucapan Mama dengan baik saat itu, jadi, aku merasa Mama hanya sedang ngobrol biasa denganku. Aku baru menyadari semuanya begitu hari itu tidak, hari ketika Mama 40 tahun 4 hari, tanggal 18 Februari 2004.

Hari itu rasanya selalu ada sampai saat ini, karena itu adalah hari terpanjang seumur hidupku. Sejak subuh Mama meminta semua berkumpul, tapi semua orang menangis. Napas Mama sudah sepenggal-sepenggal. Bapak disamping Mama membacakan Surah Yassin, Om Dady di belakang Mama, menopang Mama, menangis juga. Yuda dan aku di dekat kaki Mama, menangis, tidak tahu mengapa mulai menangis, tapi takut karena mengerti Mama mau pergi. Bapak mengelus kepalaku sambil membaca Al-Qur’an, aku tahu apa yang akan terjadi. Kaki dan tangan Mama dingin sekali saat itu. Kemudian, tiba-tiba Yuda bangun, lalu mulai keliling kamar sambil memukuli kepalanya dengan tangan.

“ Mamaaaaa, Mama jangan begitu, siapa yang mau bikin pudding nata buat Yuda, Mama nggak usah nangis, Mama bangun!!! Yuda nggak mau sekolah nih!!!” Adikku berteriak-teriak.

“ Sini… salam sama Mama deq,” ucap Mama patah-patah.

Semua melakukan permintaan Mama, lalu jam 07.00 pagi, Mama sudah terpejam. Sudah tidak mengatakan apa-apa lagi. Sudah tidak menghembuskan napas lagi. Mama sudah tidak ada. Sudah tidak ada yang bisa kami panggil Mama. Kami melepas Mama.

Air mata tidak pernah putus hari itu, kecuali ketika melihat Bapak yang tidak goyah kehilangan pendampingnya yang telah bersamanya selama 13 tahun lebih. Aku tahu Bapak juga ingin sekali menangis, tapi ada kami yang harus dikuatkan. Yuda di belakang rumah, ditemani Mbah, dipaksa untuk makan.

***
That’s all about my sort story…

It is kind of sad to recall these memories, because Mom is too precious. I write it after watching the Wedding Dress movie. It was the exact feeling that I felt. Sora afraid to lose her Mom, so did I do. It was no easy thing to pass those times, but because I have a brother to take care of, so I promise to be his role model. But yeah, in many case I learn from my brother 

Mom has been passed away. But her love live in our hearts. Mom physically failed her heart(liver), but she share warmth from her heart.
My Mom has a will to use veil if she recover from the disease, but since no recovery, Mom couldn’t complete it.
Mom lso want me to lose some weight, but I couldn't, I hope I will complete that one someday. Because world only craving for beautiful people right? And if you are fat, you are no beautiful girl, right?

Now, I use my veil to protect my self and to show the world that I live well as a Muslim. And yeah, I am trying to lose my weight, because Mom’s clothes are all cool and pretty. Aaaahhhh~~~

No comments: