Title : I Wanna See the Moon
Rating : G
Type : Oneshot, straight
Language : Indonesian
Genre : drama, romance
Pairing : Max Changmin (DBSK) X Wi Seong (fictional)
A/N : Actually it was a request from my beloved daughter Lunar, hehe she ask me some favor to make a story about her and her bias. so it come up somehow, sorry if you find many typos, error, and mismatched setting, I haven't edited it again, so, be easy on me please :)
***
Pemuda itu duduk pada sebuah kursi sambil bersandar pada sebuah pohon, dengan satu set kanvas besar dihadapannya dan sekotak rokok di samping kirinya. Rambutnya agak berantakan, kaousnya berwarna putih dipadu dengan kemeja kotak-kotak dengan kancing terbuka. Tatapan matanya fokus pada kanvas dengan sepuntung rokok menyala di sampingnya. Dari jauh seorang gadis mengamatinya, dengan tangan terlipat di dada dan wajah sebal.
Sebelum berlari ke arah pemuda itu gadis itu mengambil sebotol air minum dari dalam tas selempangnya yang sudah lusuh. Begitu berada di sana, pemuda itu tak memperhatikan keberadaannya, masih fokus dengan lukisannya. Gadis itu berjongkok lalu menyiramkan air ditangannya pada rokok yang menyala. Air yang menetes di sepatunya mengagetkan pemuda itu.
“ Mwo? Ya, yah!” Sergah pemuda. “ Park Wi Seong? Apa yang kau lakukan?”
“ Yah, Shim Changmin, sampai kapan kau akan berusaha sok jadi seniman,” kata Wi Seong. “ Lagi pula merokok bukan hal yang perlu dijadikan identitas seorang seniman, dan sudah kukatakan aku tak suka orang yang kusukai merokok, araso?”
Changmin mengerang, “ tsk! Kau ini selalu bersikap mengatur, kau bukan ibuku atau pacarku kan?”
Gadis yang menggunakan blus ungu itu berjalan memutar menuju sisi lain Changmin, rok bunga-bunga panjang berwarna putihnya berkelebat.
“ Memang bukan Sunbae, tapi sudah kukatakan kan, aku menyukaimu, jadi aku akan terus mengawasimu,” ujar Wi Seong sambil mondar-mandir, membuat Changmin menggeleng-geleng.
“ Baiklah, terserah kau,” gumamnya. “ Jadi, apa yang kau lakukan di sini?”
“ Hanya ingin mematikan rokokmu dan melihat lukisanmu...”
Changmin menarik kanvasnya untuk dihadapkan pada gadis itu. Lalu berkomentar, “ benar-benar persis dengan kakaknya.”
“ Mwo?” Tanya Wi Seong. “ Jangan samakan aku dengan Yoochun payah itu, kami berbeda.”
“ Terserah kau saja Nona Barbar,” sahut Changmin seraya menjauh, bersiap untuk menghindari pukulan dari Wi Seong yang secara kilat bangun dan mengejarnya.
Berlari cukup kencang ketika Wi Seong dengan susah payah mengejarnya. Tertawa tanpa peduli beberapa wajah kesal pasangan yang sedang berkencan di taman itu terganggu. Namun, tiba-tiba gelap! Pemuda itu terjatuh di atas rerumputan yang basah. Wi Seong meneriakkan kemenangannya, dan siap membalas pemuda yang tersungkur itu.
“ Kena kau!”
“ Tunggu... Wi Seong-ah, aku tak bisa melihat!”
@ Changmin’s Studio
Alat lukis tersebar berantakan di seluruh sudut ruangan itu. Ada beberapa noda cat yang mengotori meja dan kain-kain yang digunakan untuk mengelap tangan. Sebuah westafel yang telah beralih fungsi menjadi tempat sampah berderet dengan cermin usang yang nyaris pecah. Shim Changmin menatap dirinya lekat-lekat dalam cermin itu. Lingkaran hitam di kelopak matanya membahasakan ketidakberesan yang terjadi dengan dirinya. Ia belum tidur sejak kemarin malam, begitu juga malam ini, sepertinya ia tak akan bisa tidur.
Masih bingung memikirkan pernyataan sialan dari dokter sialan yang mengatakan adanya masalah pada penglihatannya. Payah! Seorang pelukis membutuhkan matanya dan ia harus menerima fakta kerusakan saraf matanya. Ia menerima fakta itu. Namun, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini, impiannya berada pada dua manik indah berwarna coklat itu. Dan perlahan-lahan ia terancam kehilangan kesempatan itu.
Suara ketukan di pintunya mengagetkannya. Bangun dengan langkah terseok menuju pintu dan membukanya. Terkejut ketika melihat Wi Seong tersenyum ramah dalam balutan kardigan hitam lembut.
“ Mau apa kau?” Tanyanya ketus ketika gadis itu melenggang masuk ke studio sekaligus flat kecil tempat tinggalnya itu.
“ Tak tahu caranya bersyukur ya, Tuan Shim Changmin?” Ucap Wi Seong sambil duduk di salah satu meja yang cukup bersih. Lalu ia mengangkat kotak makanan di tangannya, “ mengantar ini, bagaimana keadaanmu? Dan hasil pemeriksaan itu?”
Changmin duduk di bangku kayu agak reyot, “ Gomawo... yah, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, dan pemeriksaan itu mengatakan aku baik-baik saja, segalanya sempurna.”
Wi Seong mendengus lalu membuka kotak makanannnya. “ Umma bilang, beberapa potong gimbap dapat membantumu bertahan hidup, makanlah...”
Changmin meraih kotak makan itu, lalu mulai memakan gimbap itu. Harus ia akui, rasanya sangat enak.
“ Bukan kau yang membuatnya kan?” Tanyanya setengah menggoda gadis yang tengah berkeliling itu.
“ Umma membuatnya untukmu, kukatakan untuk membuat yang banyak dan enak, karena kau calon menantunya...”
Changmin tersedak mendengarnya, meraih botol minuman terdekat untuk mendorong potongan besar gimbap di kerongkongannya.
“ Kau sungguh berlebihan Sunbae,” gumam Wi Seong sambil meneliti salah satu lukisan pemuda itu. Gambar bulan tersembunyi di balik awan hitam dan sosok pemuda berdiri di atas padang gelap, memandangi bulan yang seolah bersiap untuk bersembunyi darinya.
“ Kau mengejutkanku, apa Ahjumma tak menertawakanmu?” Changmin sendiri tertawa.
“ Dia justru berkata aku harus berjuang mendapatkanmu,” ujar Wi Seong. “ Sunbae, kapan kau melukis ini?”
Changmin mendongak untuk melihat lukisan yang dimaksud gadis itu, lalu menjawab, “ kemarin malam, bagus tidak?”
“ Bagus kok, hanya saja, kalau aku melihatnya jadi teringat lagu sedih dari partitur yang diberikan Songsaengnim kemarin, nuansanya getir, dan penuh ketakutan...”
Pemuda itu menegang. Membatu dalam posisinya. Gadis ini dapat membaca perasaannya, perasaan yang ia tuangkan dalam lukisan itu. Perasaan takut untuk kehilangan cahaya, takut untuk hidup dalam kegelapan yang mengancam, dan takut dirinya akan tertelan kegelapan itu. Ia takut. Sesungguhnya sangat takut pada hal yang pasti akan menimpanya itu.
“ Kenapa?” Tanya Wi Seong, wajah gadis itu melongo dengan lugu, namun ia merasa tatapan itu menyelam dalam dirinya, memasuki sudut-sudut yang membuat hatinya nyeri.
“ Tidak apa-apa,” kilahnya.
Hubungannya dengan Wi Seong tak dapat dijelaskan secara gamblang. Ia mengenal gadis itu sebagai adik dari teman kuliahnya. Mereka mulai dekat sejak saat itu karena seringkali gadis itu memaksanya untuk mendengarkan permainan pianonya. Sampai pada saat gadis itu mengutarakan perasaannya pada Changmin. Gadis itu menceritakan semua tentang perasaannya, namun ia menegaskan bahwa ia tak ingin jawaban apapun, hanya ingin dia tahu dan berharap hubungan mereka seperti saat Wi Seong belum mengatakan perasaannya.
Nyatanya, tetap saja berubah, hanya saja menjadi kedekatak yang tak bisa dijelaskan. Bukan hubungan untuk menerima dan memberi, lebih pada titik saling membutuhkan satu sama lain. Changmin tak dapat memungkiri bahwa ia selalu merasa lebih baik ketika gadis itu berada di sisinya, sayangnya Wi Seong tak pernah membiarkannya melakukan hal yang sama; mengutarakan perasaannya. Ia diam, memenuhinya, untuk mewujudkan harapan gadis itu, agak hubungan mereka tak berubah, tetap seperti saat ini. Dan diam-diam, itu membuat hati pemuda itu sakit.
***
Changmin terhuyung ketika tiba-tiba kegelapan itu menyergapnya saat tengah berjalan di koridor kampus Fakultas Seni yang saat itu sedang lengang. Ia merapatkan tubuhnya di tembok, berharap kegelapan tiba-tiba itu segera menghilang. Ia menggerutu ketika—setelah berusaha mengerjap berkali-kali—kegelapan tak kunjung hilang. Ia mengerang cukup keras ketika nyeri yang biasanya dapat tertahan itu menghantam pelipisnya, jauh ke dalam, saraf penglihatannya. Ia berpegangan pada tembok sementara rasa sakitnya menghujam dan membakar.
Ia terkulai di sana. Tak ada yang dapat dilihatnya untuk terakhir kali sebelum kesadarannya menghilang. Hanya sentuhan kokoh sebuah lengan yang mengangkat tubuhnya lah yang dapat ia ingat.
***
@ Hospital
Park Yoochun berdiri bersebelahan dengan adiknya. Sementara di seberang ranjang itu, pasangan suami-istri; Kim Jaejoong dan Shim Hyun Shi berdiri menatap tubuh Changmin. Wanita itu—Hyun Shi—menggenggam tangan adiknya dengan lembut, matanya sembap akibat menangis. Wi Seong membeku dalam rangkulan kakaknya, tak pernah merasa seberuntung
Itu memiliki Yoochun sebagai kakaknya.
Gerakan tangan pemuda yang terbujur di ranjang itu mengejutkan semuanya, Wi Seong bergerak cepat menuju sisi ranjang. Changmin membuka kelopak matanya dengan lamban, seolah dengan melakukan gerakan itu, ia akan menghancurkan tubuhnya. Cahaya menelusup dengan lembut mengenai matanya, ia dapat melihat tubuh-tubuh di sampingnya dengan samar. Ia mengerjap sekali untuk menjernihkan pandangannya. Dan menyaksikan orang-orang yang memang diharapkannya berada di sana.
Senyum khawatir semua orang yang ada di sana membuatnya bahagia, dan menyadari bahwa ia mencintai mereka semua.
“ Noona? Berapa jam aku pingsan?” Tanyanya.
“ Sekitar delapan belas jam, anak nakal,” jawab kakaknya. “ Kenapa tak memberitahu kami tentang semuanya?”
Changmin tersenyum dan hanya bisa membisu.
***
Wi Seong menggandeng pemuda itu perlahan, sudah dua hari semenjak ia mengetahui penyakit yang diderita Changmin. Mereka duduk di slaah satu bangku taman rumah sakit. Hanya saja, tak ada yang berusaha untuk memulai pembicaraan.
Keduanya masih bergulat dengan pemikiran masing-masing, tak dapat saling mengenyakkan dari kerumitan yang ada dalam otak mereka sendiri. Namun, pemuda berseragam biru untuk pasien itulah yang memulai.
“ Payah sekali rasanya, aku telah menggembar-gembor keinginan untuk menjadi pelukis, dan sekarang aku sudah tak bisa melakukannya...”
Wi Seong tersentak, “ jangan bicara seolah hal itu sudah terjadi, kau masih punya waktu, kau masih bisa melihat, lagi pula dokter bilang masih bisa diobati.”
“ Dengan cangkok mata, Wi Seong,” sambungnya, “ tak ada orang yang cukup bodoh untuk memberikan matanya, dan mungkin memang seharusnya aku mempersiapkan diri untuk hidup dalam kegelapan.”
“ Jadi itu maksud lukisan bodohmu waktu itu,” kata Wi Seong seraya berdiri. “ Kau takut dengan kegelapan yang bahkan belum atau mungkin taka kan pernah datang, kau berputus asa, dan itu sangat bodoh, Tuan Shim yang terhormat, sadarkah kau...”
“ Tidak!” Potong pemuda itu. “ Aku tidak sadar, namun aku mengerti, aku mengerti akan kehilangan semuanya, semuanya, aku tak dapat melihat bumi ini, tak dapat melukis lagi, dan mungkin selamanya kehilangan hidupku.” Sebenarnya ia ingin mengatakan ketakutannya kehilangan gadis itu, takut tak dapat melihat wajah gadis itu lagi, takut tak dapat melihat senyum dan tawanya, takut kehilangan bulan purnama pribadinya, yang selama ini hanya menjadi miliknya.
“ Kau tak memberikan kesempatan pada dirimu untuk berharap, kau membuang kesempatan itu karena keputusasaanmu...”
“ Lalu bagaimana denganmu Nona,” ujarnya, suaranya yang tadinya tinggi sedikit melembut. “ Apa kau pernah memberiku kesempatan untuk mengatakan perasaanku, kau membiarkan egomu untuk mempertahankan keadaan, tanpa mau peduli padaku dan tak membiarkanku mengatakan apa yang ingin kukatakan...”
Hening sejenak. Lalu wajah terkejut Wi Seong terlihat ketika Changmin kembali berbicara.
“ Aku mencintaimu Park Wi Seong, aku menginginkanmu, lebih dari kau menginginkanku, aku berpikir kau milikku selama ini, dan dengan semua ini, kesempatan itu tak akan pernah ada, kau tahu betapa takutnya aku dengan hal itu?” Wi Seong menutup telinganya erat-erat, tak kuat untuk mendengar ucapan pemuda itu. Namun Changmin terus berbicara, “ Kau juga takut kan? Buktinya kau menggunakan alasan harapan cangkok sialan itu untuk menutupi ketakutanmu begitu aku tak bisa melihat nanti, begitu aku menjadi Shim Changmin Si Buta... begitu kan?”
“ Cukup!” Teriak Wi Seong. “ Cukup! Hentikan... Ku mohon,” gadis itu menangis, air mata meleleh di pipinya, ia berlutut di hadapan Changmin. “ Ku mohon... hentikan...”
Changmin mendesah, “ bukankah itu wajar.” Kini pemuda itu menyentuh wajah gadis itu, “ dan tak mungkin Ibumu masih menyuruhmu berjuang untuk mendapatkanku setelah mengetahui semua ini...”
***
@ Changmin’s Studio
Tubuh tinggi kurus itu mengahadap ke arah jendela yang terbuka, membiarkan wajahnya dimandikan percikan hujan malam itu. Penglihatannya semakin sering terganggu, dan memutuskan untuk lebih sering menutup mata, melatih dirinya untuk hidup dalam kegelapan, karena hal itu pasti terjadi.
Begitu keluar dari rumah sakit, ia menghindari pertemuan dengan Wi Seong, masih tak mampu menatap ke dalam mata gadis itu. Karena matanya semakin lemah, dan takut bila ia menatapnya nanti, wajah gadis itu hanya berupa siluet samar karena ia mulai kehilangan kesempatannya untuk melihatnya. Karena itu, ia memutuskan untuk tak melihatnya sama sekali. Itu lebih baik.
Berusaha meyakinkan dirinya dengan hal itu, memaksakan keyakinan itu, tepatnya. Detik berikutnya ia terlonjak ketika pintu menjeblak terbuka dan menampilkan Park Wi Seong yang basah kuyup di hadapannya. Changmin terbata, tak tahu harus mengatakan apa.
“ Diam Shim Changmin, biarkan aku bicara,” kata Wi Seong sambil terengah. “ Dengar, kau benar, aku salah selama ini, aku yang bodoh membiarkanmu diam saja, dan aku meminta maaf karena hal itu, dan aku tak peduli kau memaafkanku atau tidak, yang pasti aku sadar itu egoismeku karena ingin memilikimu seperti saat ini, aku—seperti yang kau katakan—selalu ketakutan untuk menerima kenyataan.”
“ Apa yang kau bicarakan?” Wi Seong tak menanggapi pertanyaan Changmin, melainkan menyeret pemuda itu keluar. Ke dalam hujan deras malam itu. Changmin menurut tanpa bisa menolak.
“ Kau gila ya?” Tanya Changmin seraya mengerjapkan matanya yang terkena tumpahan air hujan.
“ Ya! Aku gila, aku tergila-gila padamu, dan kupikir kau juga begitu, kupikir kau merasakan hal yang sama.” Gadis itu menyuarakan emosinya. “ Kau benar, aku tak lebih dari sialan yang takut pada kenyataan, dan aku selalu salah selama ini, tapi, kau juga salah, kau juga salah...”
“ Kau bilang takut tak dapat melihat semuanya, aku tahu kau takut bulan bersembunyi darimu ketika saat itu tiba, tapi kau salah, bahkan malam ini ia bersembunyi darimu, ia tak menunggu saat itu datang, namun lihatlah, aku masih ada di sini, kau masih bisa melihatku, kau membunuh harapanmu, bukan itu wujud keberanian, itu tak lebih dari sebuah keputusasaan...”
Changmin membeku di ditempatnya. Membiarkan Wi Seong melanjutkan apa yang ingin dikatakannya. “ Dan satu lagi kesalahanmu, Umma bilang aku harus tetap berjuang untuk mendapatkanmu, kau salah menilai Umma...”
Changmin menarik Wi Seong dan mendaratkan ciumannya pada bibir beku gadis itu. Tangannya menangkup kepala Wi Seong, memaksanya untuk masuk ke dalam detik-detik itu. Gadis itu mengulurkan tangannya untuk memeluk Changmin, kemudian meremas kemeja basah pemuda itu. Ciuman itu ia lepaskan, kemudian memeluk erat gadis itu, menempelkan kepala gadis itu pada dadanya, membiarkannya menangis. Bibirnya ia tempelkan pada kening gadis itu.
“ Aku mencintaimu...” itulah yang ia bisikkan, “ maafkan aku Wi Seong, maafkan aku...”
Tak ada jawaban, hanya isakan yang terdengar, namun pelukan gadis itu makin erat sehingga tak ada lagi jarak diantara tubuh mereka.
Dari jauh, dalam rumah, melewati jendela yang basah, Hyun Shi menangis dalam pelukan suaminya. Jaejoong mengecup kening istrinya dan berkata, “ Jagiya, kita harus percaya ia akan melewati semua ini, ia pasti mampu melakukannya...”
Hyun Shi menyurukkan kepalanya pada dada suaminya, membiarkan piyama suaminya dibasahi air matanya sendiri. Lalu memejamkan matanya, tak mempedulikan suara hujan yang begitu lebat, melainkan membiarkan detik-detik penuh kehangatan itu berjalan, baik di tempat itu, maupun di luar sana.
***
It was an old fic, I wrote this about 2 years ago, and post it here just now, hehe
hope it was good for everyone, thanks~~
No comments:
Post a Comment